KALIANDA – Pemerhati Sosial, Arjuna Wiwaha menilai apa yang dilansir oleh pihak AMHLS di sejumlah media bahwa aksi dan laporan AMHLS ke KPK kaitannya dengan dugaan penerimaan gratifikasi wakil bupati, Nanang Ermanto (2018) seolah-olah mendapat dukungan oleh dewan pengawas KPK dan laporan tersebut diterima untuk segera ditindaklanjuti oleh deputi bidang Penindakan dan Eksekusi KPK dengan segera ditingkatkan ke penyidikan, adalah sebuah penyesatan informasi.
Menurut warga Kecamatan Sidomulyo ini, surat tersebut merupakan surat jawaban atas surat laporan AMHLS ke dewas KPK per tanggal 7 Januari 2022 lalu. Mestinya, kata Arjuna, agar lebih fair, AMHLS turut mengungkap secara detil subtansi surat laporan ke dewas KPK itu sebelumnya, agar publik turut dapat membandingkan antara surat awal dengan surat jawaban dari dewas KPK itu memiliki korelasi dengan pemberitaan yang di blow-up tersebut.
“Kalau kita telaah surat dewas KPK itu kan surat jawaban atas laporan kawan-kawan AMHLS terkait adanya dugaan pelanggaran oleh KPK atas laporan AMHLS ke KPK sebelumnya. Subtansi jawaban di surat itu pun normatif ya, standar baku dalam tata cara bersurat instansi pemerintah. Isi jawaban dewas KPK itu, saya lihat sama saja dengan klarifikasi atau penjelasan SOP alur laporan masyarakat di lembaga antirasuah itu,” kata Arjuna kepada wartawan Minggu 20 Februari 2022.
“Publik perlu tahu isi surat awal ke dewas KPK itu seperti apa. Jangan ujug-ujug, ada surat balasan kemudian diframing seolah-olah aksi dan laporan kawan-kawan AMHLS itu mendapat dukungan oleh dewas. Sehingga, oleh KPK laporan dugaan gratifikasi itu naik statusnya untuk penyidikan. Untuk diketahui, laporan, penanganan maupun pengembangan kasus di KPK itu ada SOP-nya (Standar Operasional Prosedur). Jadi, siapa pun itu tidak bisa bermain-main kasus di KPK,” imbuhnya.
Terkait subtansi jawaban dewas tersebut, Arjuna menduga, surat AMHLS ke dewas tersebut adalah mempertanyakan tindak lanjut surat laporan pengaduan AMHLS ke KPK kaitannya dengan dugaan gratifikasi oleh wakil bupati saat itu pada 2018 silam.
Oleh dewas KPK dijawab dengan 2 poin, poin pertama bahwa surat laporan pengaduan (AMHLS) tersebut (Sesuai SOP) sudah diterima dan diteruskan ke unit terkait di Kedeputian Penindakan dan Eksekusi untuk ditindaklanjuti.
Poin kedua, dewas menjelaskan bahwa (Sesuai SOP) jika pelapor ingin mengetahui progres atau tindak lanjut laporannya tersebut (Hendaknya) dapat berkoordinasi dan menyampaikan informasi tambahan ke Kedeputian Penindakan tadi.
“Dua poin jawaban dewas itu adalah SOP baku yang ada di KPK sesuai dengan Keputusan Pimpinan KPK No. KEP-562A/01-20/05/2015 tentang Standar Prosedur Baku (SOP) Kedeputian Bidang Penindakan. Artinya, siapapun masyarakat jika melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi, maka SOP dan alur laporannya akan seperti itu,” imbuh Arjuna.
Yang menjadi pertanyaan, masih kata Arjuna, adalah informasi tambahan yang bakal diminta oleh Kedeputian Penindakan untuk memproses lebih lanjut laporan itu. Sebagaimana diketahui, dugaan gratifikasi tersebut sebelumnya telah terungkap di persidangan Korupsi PU-PR Lamsel jilid I pada 2018 silam.
“Informasi tambahan yang dimaksud oleh dewas dan yang bakal diminta oleh kedeputian penindakan itu adalah bukti dan informasi baru atau maksudnya adalah fakta hukum baru yang memang belum diketahui oleh KPK di luar fakta persidangan PU-PR Lamsel yang perkaranya seperti kita ketahui telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, jika modal laporan AMHLS itu hanya fakta persidangan itu saja, maka informasi tambahan yang akan diberikan sama saja akan percuma. Karena fakta hukum itu (Fakta Persidangan) barang tentu KPK sudah tahu dan bahkan lebih memahaminya,” tukas Arjuna seraya tergelak ringan.
Namun demikian, Arjuna meminta seluruh elemen masyarakat Lamsel untuk bisa lebih objektif dan fair dalam memperjuangkan penegakkan hukum kaitannya dengan pengembangan kasus korupsi PU-PR Lampung Selatan di KPK. Karena katanya, kaitannya itu adalah edukasi hukum dan hak informasi yang benar dan objektif oleh masyarakat.
“Saya fikir, wajar jika Nanang Ermanto yang saat ini menjabat Bupati setelah terpilih kembali di pilkada 2020 lalu merasa terdzolimi dengan aksi dan gerakan kawan-kawan AMHLS ke KPK, karena saya lihat kawan-kawan AMHLS kurang objektif dengan langsung loncat ke kasus dugaan gratifikasi oleh wakil bupati saat itu. Padahal di fakta persidangan itu banyak menyebutkan pihak lain yang perannya lebih dalam,” tuturnya.
Arjuna pun sepertinya enggan menanggapi apa yang melatar belakangi laporan tendensius AMHLS itu ke KPK. Namun demikian menurut Arjuna, jika mau fair dan objektif untuk mendukung penegakkan hukum, sesuai dengan fakta persidangan juga dalam amar putusan perkara itu, ada sejumlah pihak yang mestinya berpotensi terlebih lebih dahulu untuk diproses secara hukum dalam kaitannya pengembangan kasus korupsi PU-PR tersebut.
“Entah kawan-kawan di AMHLS memang kurang cermat dalam menyikapi perkara itu, atau memang tendensius. Jika memang mau fair, ada sejumlah pihak lain yang potensinya lebih besar untuk dijadikan tersangka dalam pengembangan perkara itu. Bahkan pihak-pihak yang berpotensi itu dan kerap disebut baik namanya maupun perannya dalam persidangan, oleh kawan-kawan AMHLS dalam aksi di gedung Merdeka tempo hari sama sekali gak pernah disenggol sedikitpun,” bebernya seraya mengatakan setidaknya bakal ada sejumlah pihak yang berpotensi menjadi tersangka dalam pengembangan kasus korupsi PU-PR Kabupaten Lampung Selatan 2018.
Namun sayangnya, Arjuna menolak menyebutkan secara rinci baik dalil hukumnya maupun pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka dalam pengembangan kasus korupsi PU-PR itu.
“Bisa kita lihat konstruksi perkara itu seperti apa, baik dilihat dari fakta persidangan maupun di dalam amar putusan. Bahkan, untuk membangun konstruksi hukum dalam perkara itu, jaksa KPK harus pontang-panting banding hingga upaya tingkat kasasi,” pungkasnya.
(row)