KALIANDA – Dalam lanjutan sidang gugatan praperadilan sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap Kepala Desa Karyatunggal (Nonaktif), Tubagus Dana Natadipraja (Pemohon) melawan Kejaksaan Negeri Lampung Selatan (Termohon), dalam sidang yang dipimipin oleh hakim tunggal Ryzza Dharma SH dengan agenda jawaban Termohon kembali di gelar di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri Kalianda, Jumat 10 Juni 2022.
Termohon dalam hal ini tim dari Kejaksaan Negeri Lampung Selatan yang dikomandoi Kepala Seksi Pidana Khusus, Hery Susanto SH dalam menyampaikan tanggapannya sempat mengutip sabda Nabi Muhammad SAW.
“Wahar Abu Hurairah, keadilan satu jam lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun, shalat, zakat dan puasa, Wahar Abu Hurairah penyelewengan hukum satu jam lebih pedih dan lebih besar dalam pandangan Alah daripada melakukan maksiat enam puluh tahun,” ucap Hery Susanto.
Di dalam Bab pendahuluannya, Termohon yang merupakan tim Kejari Lamsel yang terdiri dari Kasi Pidsus Hery Susanto SH, Kasi Intel Samiadji Noer SH, dan 7 jaksa fungsional yakni, Rinaldy Adriyansah SH, Agsyana SH, Rahmat Djati Waluya SH, AB. Bayu SH, Yona Prilia Karlinasari SH, Rindu Yusticia SH dan Afrhezan Irvansyah SH, memberikan kesan, bahwa dalam menegakkan keadilan, peraturan hukum bisa disampingkan. Selain itu bahwa hukum juga adalah perbedaan sudut pandang, antara jaksa, kuasa hukum maupun hakim.
“Karena menegakkan keadilan bukanlah sekedar menjalankan prosedural formal dalam peraturan hukum yang berlaku di suatu masyarakat, dimana menegakkan nilai keadilan lebih utama daripada sekedar menjalankan berbagai prosedur formal perundang-undangan,” imbuh Hery.
Lebih lanjut ke subtansi tanggapan gugatan praperadilan, Termohon menyebutkan untuk dalil pertama pemohon bahwa penetapan tersangka oleh Termohon tanpa laporan hasil pemeriksaan audit BPK.
Terkait hal itu, Termohon mendalilkan pasal 20 ayat (4) UU nomor 30 tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi : Jika hasil pengawasan intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara.
“Pada pasal 20 ayat (4) disimpulkan bahwa dapat dipahami dan ayat tersebut bahwa APIP termasuk di dalamnya Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) maupun Inspektorat Jenderal, Inspektorat Utama, maupun inspektorat-inspektorat pada pemerintah daerah juga memiliki kewenangan dalam menghitung kerugan negara/kerugan keuangan negara. Mengapa demikian? Karena tidak mungkin tertulis frase “pengembalian keuangan negara” pada ayat tersebut sementara kerugian keuangan negaranya belum dihtung,” ucap Hery Susanto.
“Tidak hanya BPK, berdasarkan aturan yang berlaku diantaranya BPKP, Inspektorat, Akuntan Pubik, bahkan penyidik dan penuntut umum dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat korupsi. Serta hakim pun juga dapat menghitung kerugian negara. Jadi apa yang disampaikan pemohon tidak mendasar dan hanya mencari sensasi belaka, untuk mengaburkan pokok materi perkara tersebut,” ucap Hery menyindir.
Terhadap dalil kedua, terus Hery, Pemohon menyatakan bahwa kendati ada temuan kerugian negara berdasarkan Hasil Audit BPK, Hasil Audit BPK tak bisa serta merta diusut Jaksa.
“Bahwa Termohon menolak secara tegas dalil Pemohon dalam permohonannya. Bahwa terhadap alasan tersebut diatas sesungguhnya sudah dijawab atau ditanggapi oleh Pemohon sendiri dalam permohonannya, yatu Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan dalam huruf a. Rumusan Hukum Kamar Pidana angka 5 (Lima), berbunyi: “Ketentuan batas waktu 60 hari pengembalian kerugan Negara atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan/ Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara tdak berlaku bagi Terdakwa yang bukan Pejabat (Swasta) yang mengembalikan kerugian Negara dalam tenggang waktu tersebut. Ketentuan tersebut hanya berlaku bagi Penyelenggara Pemerintahan. Tetapi tidak bersifat mengikat manakala pengembakan kerugian negara oleh Penyelenggara Pemenntahan diakukan setelah batas waktu 60 hari. Adalah menjadi kewenangan Penyidik melakukan proses hukum apabila ditemukan indikasi Tindak Pidana Korupsi” kata Hery.
Sedangkan dengan dalil ketiga Pemohon mengenai SPDP, Termohon tidak bersependapat, karena tim kuasa hukum tidak mengikuti perkara a quo sejak awal.
“Terhadap dalli keempat, pemohon menyatakan Termohon dalam melalukan penyitaan barang bukti telah melanggar ketentuan KUHAP, bahwa atas dalil yang diajukan oleh tim kuasa hukum kami membantah. Sampai saat ini Termohon belum pernah melakukan penyitaan barang bukti dalam perkara a quo dari Pemohon. Jika pun ada dokumen-dokumen dan barang-barang yang sudah terdapat pada Termohon Itu bukan didapat dari Pemohon. Bahwa Termohon tidak memahami ketentuan yang terdapat didalam Pasal 38, 39, 42, 48 KUHAP,” pungkasnya tim dari Kejari Lamsel tersebut.
Selanjutnya, oleh hakim tunggal perkara gugatan praperadilan, Ryzza Dharma SH kembali sidang ditunda hingga Senin 13 Juni 2022.
“Sidang ditunda hingga Senin pekan depan dengan agenda pembuktian,” tutur Ryzza.
Sementara, Hasanuddin SH dari tim kuasa hukum Pemohon menilai jawaban yang disampaikan oleh Termohon kurang cermat, kurang teliti, tergesa-gesa dan terkesan asal bunyi.
“Mungkin masih bingung dalam menafsirkan SEMA RI Nomor 04 Tahun 2016. Padahal di surat edaran tersebut sudah sangat jelas bahwa satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional, ada tidaknya kerugian keuangan adalah Badan Pemeriksa Keuangan,” beber Hasanuddin.
Sedangkan instansi lainnya, terus lawyer senior ini, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat, SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) hanya sebatas berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara.
“Jadi sesuai kewenangannya, lembaga di luar BPK itu boleh memeriksa dan mengaudit. Tapi tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Sekali lagi saya tegaskan tidak berwenang menyatakan adanya kerugian negara,” ujarnya seraya menambahkan bahwa Hakim pun juga dalam konteks porsional hakim dapat menilai adanya kerugian negara dan besarannya berdasarkan fakta persidangan. Menilai, bukan sebagai pihak yang menyatakan kerugian negara.
(row)