Hukum  

Soal Putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023, Arjuna Wiwaha: Tidak Membuat Norma Hukum Baru

KALIANDA – Pemerhati sosial, Arjuna Wiwaha mengamini apa yang disampaikan oleh pakar hukum Tata Negara Universitas Lampung, DR. Yusdianto, SH, MH yang menyatakan Bupati Lampung Selatan Hi Nanang Ermanto masih dapat maju kembali pada pilkada 2024.

Menurut dia, ada dua cara memahami putusan MK. Pertama dengan membaca utuh amar putusan. Kemudian yang kedua adalah menyimak apa isi pertimbangan hukum yang sifatnya mengikat.

Karena faktanya, hakim MK dalam putusan MK Nomor 02/PUU-XXI/2023 mempertimbangkan perkara-perkara sebelumnya yang berkaitan dengan norma perkara yang diuji, seperti putusan MK Nomor 8/PUU-VI/2008 maupun Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dan putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020.

“Perlu dipahami bahwa, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-XXI/2023 itu tidak membuat norma hukum baru. Putusan tersebut hanya menegaskan, bahwa MK tidak membedakan masa jabatan definitif ataupun pejabat sementara,” ujar dia kepada wartawan, Rabu 27 Maret 2024.

Artinya, terus warga Kecamatan Sidomulyo ini, dalam kaitannya dengan Pasal 7 ayat (2) Huruf n UU No. 10/2016, Nanang Ermanto tentunya masih bisa maju dalam kontestasi pilkada Lamsel 2024 yang bakal dihelat pada November mendatang.

“Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PUU-XXI/2023 itu kan kaitannya dengan permohonan judicial review oleh Bupati Kutai Kartanegara, Edi Darmansyah. Beliau meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945,” katanya

“Dan pasal 7 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “menjabat” dinyatakan hanya berlaku untuk yang menjabat sebagai Bupati definitif dan tidak termasuk untuk yang menjabat sebagai Plt. Bupati. Namun, MK menolak gugatan Bupati Edi Damasnsyah itu,” imbuh Arjuna.

Lebih lanjut diungkapkan Arjuna, jika disimak, masa jabatan Nanang Ermanto sebagai pelaksana tugas (Plt) kurang dari 2,5 tahun atau hanya menjabat 1 tahun 8 bulan. Begitu juga dengan jabatan bupati definitif yang hanya 9-10 bulan.

Sehingga kalau ingin dimaknai, sambung dia, pertimbangan Putusan MK Nomor 2/PPU-XXI/2023 itu, yakni MK tidak membedakan masa menjabat (dua setengah tahun atau lebih sebagai satu periode) antara pejabat definitif dengan pejabat sementara.

“Dengan 2 keadaan yang berbeda ini, baik yang pejabat sementara maupun yang definitif, tidak ada satu pun yang memenuhi hitungan 1 periode,” ungkapnya seraya menambahkan bahwa tidak ada juga putusan MK yang menetapkan 2 kondisi jabatan itu dapat dihitung gabung, atau yang menyebutkan satu periode adalah gabungan antara penjabat definitif dan plt bupati.

Lebih dalam, Arjuna juga mengungkapkan adanya sejumlah yurisprudensi keputusan MK yang menguatkan dalil-dalil tersebut. Seperti Putusan MK Nomor 67/PUUXVIII/2020. Putusan ini mengenai bupati Bonebolango periode 2010-2015, Hamin Pou.

Hamim Pou diketahui menjadi pelaksana tugas bupati selama dua tahun delapan bulan sembilan hari. Hamin Pou kemudian menjadi bupati definitif selama dua tahun tiga bulan dan dan 21 hari. Putusan MK 67/2020 tidak menyatakan Hamim Pou tak memenuhi syarat sebagai calon bupati periode 2021-2026 karena terhitung dua periode. Hamin Pou akhirnya menjabat Bupati Bonebolango periode 2021-2026.

“Putusan MK 67/2020 menjelaskan cara menghitung masa jabatan bupati adalah sejak pelantikan. Pertimbangan hukum terkait Hamim Pou ini mirip dengan situasi yang dihadapi Bupati Lamsel Nanang Ermanto. Sewaktu menjabat wakil bupati Lamsel, Nanang Ermanto kemudian dilantik sebagai bupati Lamsel periode 2016-2021 menggantikan Bupati Zainuddin Hasan yang berhalangan tetap kala itu,” pungkasnya.

(*)