Daerah  

Di Lampung Selatan, Ditengarai Ada Selisih Pembayaran Rp9.500 – 13.000 Dalam Transaksi Bansos Pangan

KALIANDA – Penyaluran bansos pangan untuk program sembako bulan Maret 2020 sebesar Rp200ribu di Kabupaten Lampung Selatan ditengarai terjadi kelebihan pembayaran oleh KPM Rp9.500. Dengan komposisi beras premium 15Kg, telur ayam 10 butir dan kacang hijau 1/2 Kg dalam proses transaksi digital menggunakan mesin EDC, dana Rp200 ribu tersebut ditarik habis.

Dalam posisi distributor, manajer suplier menjual komoditi dengan harga grosiran. Seperti menjual beras 15Kg dengan harga Rp151ribu, telur ayam 10 butir dengan harga Rp15ribu dan 1/2Kg kacang hijau Rp11ribu, total = Rp177ribu. Ditambah keuntungan e-warong Rp7ribu + BUMDes Rp3ribu, dan grand total Rp187ribu. Artinya terjadi kelebihan pembayaran oleh KPM sebesar Rp13ribu.

“Harga tersebut adalah harga distributor, sebagai manajer suplier untuk seluruh jumlah 3 jenis komoditi tadi, dengan total harga Rp177ribu, manajer suplier sudah mendapatkan keuntungan Rp3-4 ribu. Kemudian, ditambah pembagian keuntungan untuk e-warong Rp7ribu ditambah BUMDes Rp3ribu menjadi Rp187ribu.  Artinya ada nilai selisih Rp13 ribu dalam proses transaksi KPM. Pertanyaannya, kemanakah larinya selisih dana Rp13 ribu tersebut?” ungkap Faisal Sanjaya, ketua Komite Aksi Kawal Program Jokowi Lampung, Selasa 7 April 2020.

Namun menurut Faisal, tidak semua manajer Suplier menerapkan pola yang sama. Di beberapa kecamatan, pola yang dijalankan adalah beras 15Kg Rp151 ribu, telur ayam 15 butir Rp22.500 dan kacang hijau 1/2 Kg Rp11 ribu, BUMDes sebagai suplier Rp2ribu kemudian e-warong Rp4 ribu, maka total =Rp190.500. Maka masih terjadi selisih harga sebesar Rp9.500.

“Dengan pola ini, maka total pembayaran sebesar Rp190.500 ini (diperkirakan) manajer suplier sudah mendapatkan keuntungan Rp4ribu per KPM, suplier (BUMDes) Rp2ribu dan e-warong Rp4ribu. Tapi ternyata, masih ada selisih pembayaran sebesar Rp9.500 oleh KPM,” imbuh Faisal.

Kendati demikian, dari hasil penelusuran dan investigasi di lapangan, peran BUMDes sebagai suplier tidak dijalankan sebagai mana mestinya. BUMDes tidak benar-benar menjalankan usaha sebagai pemasok e-warong. BUMDes hanya melakukan Purchase Order (PO) ke manajer suplier yang telah ditunjuk oleh tikor kecamatan, kemudian hanya dibagi Rp2-3ribu per KPM sebagai jasa melakukan PO.

‌”Desa, dalam hal ini BUMDes harusnya hati-hati dan cermat atas masalah ini. Jangan sampai BUMDes ditunjuk sebagai suplier hanya sebagai tameng bagi pihak lain yang ingin mengeruk keuntungan. BUMDes dalam posisi suplier harus paham apa hak dan kewajiban. Jangan dikemudian hari malah BUMDes yang dijadikan kambing hitam,” ujarnya.

Dikatakan Faisal, umumnya didalam bisnis kelontongan keuntungan dari produsen hingga konsumen besarannya hanya 10 persen. Namun, sambung Faisal, kegiatan ini merupakan program sosial, ideal keuntungan dibawah keuntungan reguler di bisnis bahan pangan.

“Idealnya keuntungan untuk program sosial ini sebesar 5-7 persen saja. Dengan tingkatan paling banyak mendapatkan keuntungan adalah e-warong sebagai pihak pengecer dan notabene adalah pemberdayaan KPM,” tutur Faisal.

Menurut Faisal, kelebihan selisih pembayaran ini harus dapat dipertanggungjawabkan baik tikor kabupaten maupun tikor kecamatan.

“Harus dapat dipertanggungjawabkan, jangan malah terkesan selisih pembayaran tersebut dibuat bancakan oleh Pihak-pihak tertentu. Ini merupakan program nasional, program sosial untuk warga masyarakat yang kurang mampu,” tukas Faisal.

Jika jumlah KPM, terus Faisal, ada 82 ribu dikali saja yang paling kecil selisihnya Rp9500, maka ada sekitar Rp779.000.000, – yang diduga menguap setiap bulan transaksinya.

“Tapi, jika selisih pembayaran itu Rp13.000 dikali jumlah KPM sebanyak 82.000 maka ada sekitar Rp1.006.000.000,- yang tidak jelas juntrungannya kemana,” beber Faisal.

(row)