Hukum  

Salurkan Program Sembako Tanpa Melalui E-warong, Aparatur Desa Pardasuka Terancam Pasal Pungli

KALIANDA – Penyaluran Program Sembako oleh pihak Desa Pardasuka Kecamatan Katibung yang langsung ke KPM (Keluarga Penerima Manfaat) tanpa melalui e-warong terindikasi melakukan praktek pungli (Pungutan Liar).

Sejatinya, di dalam pelaksanaan program kartu sembako, e-warong merupakan satu-satunya sarana tempat belanja atau penyaluran bansos pangan tersebut ke KPM (Keluarga Penerima Manfaat).

Di dalam Peraturan Menteri Sosial nomor 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Program Sembako, e-warong merupakan tempat pembelian bahan pangan resmi Program Sembako yang ditetapkan oleh Mensos atas usulan bank penyalur dan juga masyarakat dengan menampilkan poster logo sebagai penanda e-warong program sembako.

Seperti di Desa Pardasuka itu, peran e-warong tersebut diambil dan dikelola langsung oleh aparatur desa dengan menyamarkan wardes (Warung Desa) sebagai badan usaha pengganti fungsi e-warong. Padahal diketahui, wardes yang dimaksud didalam Pedum Program Bansos adalah aplikasi perbankan berbasis android.

“Alhasil, azas manfaat kegiatan berupa keuntungan dari penjualan sembako ke KPM luput diraih oleh pengurus e-warong yang mana diprioritaskan dari KPM itu sendiri dengan skema KUBE (Kelompok Usaha Bersama). Bahkan ironisnya, azas manfaat kegiatan itu malah diraup oleh aparatur desa yang notabene warga masyarakat yang memiliki pendapatan tetap,” ungkap pemerhati sosial, Arjuna Wiwaha, Kamis 10 Februari 2022.

Lebih dari itu, Arjuna malah mengkhawatirkan praktek tersebut menjurus ke pelanggaran hukum pidana korupsi. Karena kegiatan cawe-cawe aparatur tersebut di dalam program bansos pangan bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 huruf e yakni jeratan hukum bagi pelaku pungli.

“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri” dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun.

Diungkapkan Arjuna, dari hasil investigasi sementara, sebagai pelaksana lapangan dalam kegiatan yang diduga pungli itu adalah aparatur desa dengan sebagai pengendali adalah kepala desa, Abdulah Saputra melalui istrinya bernama Yuli.

“Jadi, setelah dikalkulasikan dari modal belanja dengan komposisi sembako seperti beras 12Kg, Telur 1Kg, Kacang Hijau 1/2Kg dan Sayuran 1Kg, maka harus dibayarkan oleh KPM senilai bantuan sebesar Rp200 ribu. Sehingga, keuntungan yang diperkirakan mencapai Rp50rb/KPM itu, kemudian nantinya dikelola oleh kades melalui istrinya,” beber Arjuna.

Dengan demikian, diduga telah terjadinya kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintah.

“Tim saat ini sedang melengkapi berkas sebagai materi untuk pelaporan ke Kejaksaan Negeri Lampung Selatan,” pungkasnya.

Sementara, Kepala Desa Pardasuka melalui sambungan telepon seluler sepertinya enggan menanggapi masalah tersebut. Namun begitu, dia meminta LR untuk datang langsung ke kediamannya terkait masalah tersebut.

“Yasudah, kalau kita mau duduk bareng, kapan waktunya duduk di rumah,” ujar Abdulah Saputra.

Sebelumnya, selain dugaan pungli tersebut sempat ramai jadi perbincangan masyarakat adanya dugaan rekayasa di dalam proses transaksi program sembako yang menggunakan buku rekening BRI milik Yuli (56) yang notabene adalah ketua e-warong dari unsur KPM dari desa tersebut.

(row)