Daerah  

Soal Demo di KPK, Waspadai ‘Maling Teriak Maling’

KALIANDA – Pemerhati Sosial, Arjuna Wiwaha kepada LR menyikapi aksi demo oleh Aliansi Masyarakat Hanggum Lampung Selatan (AMHLS) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan salah satu oratornya adalah Rusman Efendi di gedung Merdeka Jakarta, Kamis 13 Januari 2022.

Arjuna mengaku agak geli dengan apa yang diungkapkan oleh Rusman Efendi. Aktifis ini menganalogikan layaknya lagu ciptaan Iwan Fals ‘Maling Teriak Maling’

“Kalau bicara fakta persidangan di kasus suap fee proyek Lampung Selatan, Rusman adalah salah satu poros utama. Bahkan ditegaskan, peran Rusman cukup sentral sebagai pengepul setoran fee dari sejumlah kontraktor,” ungkapnya, Kamis 13 Januari 2022.

Sebagai eks Tim Sukses, pada 2017 Rusman Efendi dipercaya untuk mengelola plotting paket proyek di PU-PR sebesar Rp50 M. Yang  diakui oleh direktur CV Bakas Abadi itu yang peruntukannya bagi tim pemenangan, pers, ormas, hingga LSM.  Namun belakangan diakui terealisasi hanya  sebesar Rp30 M. Dengan begitu, mantan Ketua DPD II Golkar Lamsel ini menyetor fee sebesar Rp5 M ke bupati Lampung Selatan saat itu, Zainuddin Hasan melalui Agus Bhakti Nugroho (ABN).

“Sudah rahasia umum, pada rezim itu Rusman Efendi adalah sebagai ‘calo proyek’ sebagai pengepul setoran fee dari pengusaha. Bahkan dilakukan terang-terangan pada saat itu,” tukasnya.

Bahkan, terus dia, pasca OTT pada medio akhir Juli 2018 silam, kediaman Rusman Efendi di Desa Tajimalela Kecamatan Kalianda sempat digeledah oleh penyidik KPK terkait dengan pengembangan kasus suap fee proyek PU-PR.

Di dalam satu penggalan video demo tersebut,  Rusman menyampaikan orasi dengan mengatakan :

“Indonesia adalah negara hukum. Tidak ada yang kebal hukum. Semua sama di mata hukum.Tidak terkecuali Bupati Lampung Selatan, Nanang Ermanto. Seperti yang kita ketahui, sudah terbukti sudah terungkap di fakta persidangan, saudara Nanang Ermanto sudah menerima suap fee proyek Lampung Selatan dari Dinas PU-PR Lampung Selatan.”

“Baik dari saksi-saksi, pengakuan dari yang bersangkutan, alat bukti yang dihadirkan KPK, semua sudah terpenuhi. Tetapi sampai hari ini saudara Nanang Ermanto belum ditetapkan sebagai tersangka. Untuk itu kami  rakyat Lampung Selatan menuntut rasa keadilan, kiranya dengan menetapkan saudara Nanang Ermanto sebagai tersangka kasus korupsi Lampung Selatan”

Sebelumnya, terkait masalah tersebut Ketua Fokwal, Newton A sempat menanggapinya. Menurut mantan aktifis ’98 ini, persoalan penerimaan aliran dana tersebut oleh Nanang Ermanto, sebenarnya bukan barang baru.

Namun kata Newton, bahwa masalah tersebut telah terungkap dan telah menjadi fakta pada  persidangan jilid I tahun 2018 silam yang melibatkan sebagai tersangka utamanya adalah Zainuddin Hasan.

“Fakta persidangan soal aliran dana itu bukan barang baru. Sudah terungkap lama, jauh-jauh hari di dalam fakta persidangan jilid I pada 2018 silam. Artinya, jika masalah penerimaan aliran dana tersebut dinyatakan menjadi delik hukum, maka otomatis harusnya Nanang sudah menjadi tersangka dari sejak awal,” tuturnya.

Disamping itu, mantan jurnalis Jawa Pos grup ini meminta pihak-pihak yang merasa berkepentingan dengan pengembangan kasus tersebut, agar bisa menelaah terlebih dahulu aspek-aspek hukum yang berlaku berkaitan dengan kasus tersebut.

Dimana, kata dia, terkait aliran dana suap proyek infrastruktur itu merupakan presentasi dari pasal 12 B Ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang gratifikasi.

“Coba diterjemahkan terlebih dahulu, apa yang dimaksud dengan gratifikasi tersebut. Definisinya seperti apa. Pahami dahulu, baru nanti boleh cuap-cuap, terlebih koar-koar di media,” tukasnya belum lama ini.

“Gratifikasi itu ada 2 jenis. Gratifikasi yang dilarang dan tidak dilarang. Pengertian gratifikasi yang dilarang itu diterima berhubungan dengan jabatan. Kriterianya penerimaan tersebut memang dilarang oleh peraturan yang berlaku. Kemudian bertentangan dengan kode etik dan juga memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan tersebut memang dilarang oleh peraturan yang berlaku. Kemudian bertentangan dengan kode etik dan juga memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut atau tidak wajar,” imbuhnya.

Misalnya yang berkaitan dengan jabatan. Newton mengungkapkan, pemberian tersebut kepada oknum yang memiliki jabatan dan kewenangan. Akan menjadi tidak wajar jika ada seorang bawahan memberikan sesuatu kepada atasan. Pasti biasanya ada embel-embelnya.

“Kemudian, contoh misalnya bawahan memberikan sesuatu kepada atasan, maka akan terjadi konflik kepentingan. Karena sudah jelas struktur birokrasi antara atasan-bawahan. Alhasil, pemberian sesuatu dari bawahan kepada atasan menjadi tidak wajar. Harusnya lah, atasan yang memberikan sesuatu kepada bawahan sesuai kepentingan  posisi masing-masing. Seperti, atasan puas dengan kinerja bawahan. Kemudian bawahan, akhirnya  menjadi lebih terpacu agar dapat lebih giat lagi dalam bekerja, sehingga bawahan tersebut kerap mendapat reward dari atasan,” katanya.

Sejatinya, pelarangan gratifikasi terkait dengan tindakan suap terselubung terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara karena jabatan dan kewenangannya.

Karena dikhawatirkan dapat terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pegawai negeri dan penyelenggara negara. Selain itu dikhawatirkan pegawai negeri dan penyelenggara negara tersebut, karena rasuah menjadi tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional.

Alhasil, pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.

“Untuk kasus Nanang Ermanto sendiri, dapat dipahami bahwa  tidak ada kepentingan seorang  Zainuddin Hasan pada saat itu selaku Bupati Lampung Selatan untuk menyuap seorang Nanang Ermanto berkaitannya dengan jabatan dan kewenangannya sebagai wakil bupati,” pungkasnya.

(row)