Hukum  

Soal Tahanan Narkoba Leluasa Gunakan HP, Berikut Sejumlah Pendapat Masyarakat

KALIANDA – Berkaitan dengan terjadinya peristiwa terduga kasus narkoba yang baru saja diamankan oleh jajaran Polres Lampung Selatan, namun terduga tersebut  kedapatan sudah bisa mengakses gadget.

Bahkan dengan tidak risihnya meninggalkan jejak digital dengan berseluncur di dunia maya meng-update story WhatsApp dan Facebook. Padahal diketahui, status hukum perkara tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Masih dalam proses untuk mencari tambahan bukti agar dapat menetapkan tersangka dalam peristiwa hukum itu.

Untuk itu, Arjuna Wiwaha yang dikenal sebagai pemerhati sosial itu, meminta Kapolda Lampung untuk dapat sesering mungkin mengevaluasi PJU (Pejabat Utama) di seluruh polres wilayah hukum Lampung secara berkala.

Menurut Arjuna, evaluasi PJU di polres-polres dibutuhkan tidak saja dalam rangka penyegaran organisasi, kedisiplinan, namun yang cukup penting adalah kinerja. Dalam penerapan profesi untuk dapat profesional, proporsional dan objektif.

“Apalagi untuk kasus narkotika ya, menurut saya perkara-perkara narkotika dan obat terlarang itu paling rentan untuk terjadi jual-beli kasus. Karena menurut pemahaman saya, banyak didapati pasal-pasal karet di dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” ujarnya, Minggu 17 Oktober 2021.

Dapat diketahui, terus Arjuna, aturan-aturan itu telah ditetapkan dengan kodifikasi hukum berupa UU. Namun begitu, dalam penerapannya ada hambatan yang cukup serius.

“Hambatan itu adalah adanya rumusan perilaku yang dapat ditafsirkan luas dalam pasal-pasal yang bertujuan menjerat bandar narkotika. Akibatnya, seorang konsumen narkotika dapat dijerat dengan pasal bandar,” katanya.

Selain itu, berbedanya jenis hukuman pada pasal-pasal itu menambah kemungkinan jual beli pasal dalam proses penegakannya.

Rumusan perilaku yang bermasalah tersebut terdapat di Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 122, Pasal 124, dan Pasal 125. Pasal-pasal itu dapat dibagi ke dalam tiga kategori perbuatan.

“Pertama, perbuatan seorang bandar atau penyedia narkotika yang dimuat Pasal 111, Pasal 112, Pasal 117, dan Pasal 122. Kedua, perbuatan seorang yang menjadi penjual atau perantara dalam perdagangan narkotika yang dimuat Pasal 114, Pasal 119, dan Pasal 124. Serta ketiga, perbuatan seorang yang menjadi kurir dalam perdagangan narkotika yaitu Pasal 115, Pasal 120, dan Pasal 125,” tuturnya.

Pada ketiga kategori dalam setiap rumusan pasalnya terdapat unsur-unsur perbuatan yang bisa ditafsirkan luas, sehingga para konsumen yang berhak atas rehabilitasi  juga dapat terjerat.

“Kita sebut satu per satu ke dalam kategori perbuatan. Yakni pertama, pasal yang ditujukan untuk menjerat bandar berbunyi sebagai berikut, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika” tambahnya.

Pada rumusan tersebut, Arjuna berpendapat bahwa ada terdapat beberapa unsur perbuatan yang dilarang, yaitu menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, dan menyediakan.

“Sayangnya unsur-unsur itu gagal menggambarkan secara spesifik perilaku seorang bandar. Hal itu dikarenakan terdapat unsur perbuatan yang dapat ditafsirkan luas yaitu unsur memiliki dan menguasai,” ungkapnya.

“Perbuatan memiliki dan menguasai tentu juga dilakukan oleh seorang pengguna narkotika atau konsumen. Logisnya, seorang pengguna tidak akan memakai narkotika sebelum ia memiliki dan menguasai barangnya,” ungkap Arjuna.

Celakanya, unsur-unsur dalam pasal itu digabungkan dengan kata “atau”, yang artinya beberapa perbuatan itu dapat dipilih sesuai dengan tindakan tersangka.

Jenis hukuman untuk pasal ini, sambung dia, terbilang berat, yaitu paling singkat lima tahun dan paling lama bisa seumur hidup.

“Sedangkan hukuman yang diatur Pasal 127 atas pelanggaran larangan konsumsi narkotika, maksimal empat tahun penjara dan masih memungkinkan diganti dengan rehabilitasi medis dan sosial,” imbuhnya.

“Permasalahan serupa juga rentan hadir dalam perbuatan yang melarang seorang menjadi distributor atau perantara dalam jual beli narkotika. Perbuatan, dalam hal ini, dirumuskan, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika,” katanya.

“Lagi-lagi dalam rumusan pasal tersebut beberapa unsur perbuatannya disatukan dengan kata “atau”. Artinya, beberapa perbuatan itu dapat dipilih untuk dicocokkan dengan perbuatan pelaku tindak pidana. Pada perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut ada rumusan yang dapat juga menjerat konsumen, yaitu membeli dan menerima,” lanjutnya.

Kedua perbuatan itu, dijelaskan Arjuna tentunya juga dilakukan seorang konsumen narkotika. Karena mereka pasti akan terlebih dulu menerima narkotika sebelum mengonsumsinya.

Tidak berhenti di situ, menurut Arjuna permalasahan perbuatan juga terdapat dalam  rumusan pasal yang harusnya melarang seseorang menjadi kurir dalam perdagangan gelap narkotika, yakni, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika.”

Masih dengan kata “atau” untuk menggabungkan beberapa perbuatan, di rumusan yang ini bahkan bisa lebih luas risiko penafsiran pasalnya karena adanya unsur “membawa”. Unsur ini juga bisa ditafsirkan kepada orang-orang biasa yang tidak tahu jika di dalam saku atau tas mereka terdapat narkotika,” tukasnya.

(row)