Hukum  

Ahli HAN Unila Lampung Sebut Azas Lex Posterior, Dokumen Baru Kesampingkan Dokumen Lama Perspektif Hak Konstitusi WN

KALIANDA – Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Lampung, Agus Triyono SH MH Ph D dalam persidangan perkara ijazah kesetaraan palsu anggota DPRD Lampung Selatan, Supriati dan Ahmad Syahrudin Kepala PKBM Bougenville, selaku penerbit ijazah kesetaraan, mengungkapkan adanya azas Lex posterior dalam HAN Indonesia, Kamis 17 Juli 2025.

Menurut Agus, Asas lex posterior derogat legi priori adalah asas dalam hukum yang menyatakan bahwa ketentuan hukum yang lebih baru (lex posterior) mengesampingkan yang lebih lama (lex priori).

Dalam konteks sistem administrasi negara Indonesia, diadopsi dengan asas lex posterior, ini berarti bahwa jika ada dokumen yang baru mengesampingkan dokumen yang lama.

“Sepanjang yang bersangkutan dapat menjamin atau membuktikan bahwa dokumen yang sebenarnya atau perbaikannya dapat diserahkan nanti kedepannya,” ujar Agus Triyono seraya mengatakan dalam konteks perkara ini bahwa SKL (Surat Keterangan Lulus) dapat sebagai bukti jaminan resmi kelulusan sekolah disertai dengan penerbitan ijazah.

Dijelaskan Agus Triyono, azas lex posterior dalam sistem administrasi negara, merupakan penerjemahan dari konsep verifikasi atau perbaikan dokumen pada suatu sistem administrasi yang merujuk pada proses mengubah atau memperbarui informasi yang salah atau tidak akurat dalam dokumen yang telah didaftarkan, seperti KTP, ijazah, akta kelahiran, atau dokumen legal lainnya.

“Prosedur ini untuk memberikan ruang agar tujuan utama dari penerapan sistem administrasi, bahwa data yang tercatat harus sesuai dengan kondisi sebenarnya, yang salah satunya untuk menghindari masalah hukum di kemudian hari akibat data yang tidak sesuai,” imbuh Agus.

Terkait pertanyaan JPU, bahwa dalam konteks perkara ijazah anggota DPRD ini, bahwa konsep verifikasi atau perbaikan dokumen ijazah tersebut tidak dilakukan pada saat tahapan atau prosedur yang telah diatur. Agus Triyono menjawab, bahwa prosedur dalam sistem administrasi negara adalah bersifat administratif, yang bertujuan supaya dalam penyelenggaraan pemerintah dapat berjalan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

“Penerapan prosedur di dalam sistem administrasi negara adalah keteraturan agar tujuan dari penyelenggaraan pemerintah dapat berjalan secara efektif dan efisien. Prosedur bersifat administratif dan berlaku secara umum. Artinya dalam kasus tertentu, lompatan prosedur dapat dilakukan dengan tujuan agar tidak mengabaikan hak seseorang warga negara. Dalam perkara ini adalah hak konstitusi, yang pemenuhannya bersifat dasar dan fundamental serta harus dilindungi oleh negara untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis,” jelas Agus Triyono.

Terakhir, Agus Triyono sempat menyinggung kedudukan hukum perkara ini dalam perspektif hukum administrasi negara pada asas presumtio justae causa, bahwa suatu keputusan pemerintah dianggap sah sampai ada putusan hukum lain yang membatalkannya

“Asas ini memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan prinsip ini, keputusan-keputusan yang telah dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dianggap sah dan mengikat sampai ada pembatalan dari pengadilan. Hal ini mencegah ketidakpastian hukum dan stabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik,” pungkasnya.

Untuk diketahui, sidang perkara ini dipimpin oleh majelis hakim Galang Syafta Aristama, SH MH selaku hakim ketua, bersama 2 hakim anggota, yakni Dian Anggraini SH MH dan Nur Alfiansyah SH MH itu digelar di ruang Cakra Pengadilan Negeri Kelas IB Kalianda, sekitar pukul 13.00 wib.

 

 

(*)