Lapor KPK Pelaksanaan PBJ RSUD Bob Bazzar TA 2024 Tabrak Perpres, Belanja Obat Farmasi Rp13,9 M Dilaksanakan Melalui Pengadaan Langsung (Bagian 2)

KALIANDA – Lapor KPK, lagi kegiatan pengadaan barang dan jasa (PBJ) di RSUD Bob Bazzar (RSBB) ditengarai dilaksanakan dengan cara ugal-ugalan tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku tentang PBJ. Seperti PBJ tahun anggaran 2024, dalam kegiatan Belanja Obat-obatan Farmasi dengan nilai anggaran kegiatan sebesar Rp13,9 M dilaksanakan oleh pihak RSUD Bob Bazzar dengan metode Pengadaan Langsung.

Padahal pengadaan langsung, adalah metode sederhana yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dengan nilai kecil atau mendesak dengan melakukan pembelian secara langsung kepada pihak penyedia.

Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 Sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 46 Tahun 2025 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa, pengadaan langsung hanya dapat dilaksanakan pada pengadaan barang dan jasa lainnya dengan nilai paling tinggi Rp200 juta.

Ditelusuri melalui situs SPSE, pada tahun anggaran 2024 lalu, RSUD Bob Bazzar melakukan 9 transaksi pembayaran terhadap 3 pedagang besar farmasi (Distributor), yakni PT Parit Padang Global (PPG), PT Bina Sanprima (BS) dan PT Penta Valent (PV) dari kurun Januari hingga Oktober 2024 dengan nilai realisasi sebesar Rp12.898.944.194.

Kendati demikian, sejatinya Perpres tentang PBJ dapat dikecualikan pada layanan BLUD (Badan Layanan Usaha Daerah) seperti RSUD Bob Bazzar, dengan catatan tata kelola PBJ diatur tersendiri oleh BLUD yang bersangkutan sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku dan kebutuhan BLUD.

Alhasil, masalah ini memantik reaksi sejumlah elemen masyarakat. Sekretaris Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung Selatan, Sior Aka Prayudi menilai, Pengadaan obat di RSUD tanpa melalui proses tender atau e-Purchasing dapat menjadi masalah serius karena berpotensi melanggar hukum dan merugikan keuangan negara.

“Proses pengadaan yang tidak transparan ini dapat membuka peluang korupsi dan inefisiensi dalam pengelolaan anggaran. Dimana, dengan metode ini berpotensi menghasilkan harga yang kurang kompetitif karena minimnya persaingan dan serta kualitas barang yang tidak optimal bahkan tidak sesuai dengan spesifikasi kebutuhan,” kata Sior, Kamis 24 Juli 2025.

Terpisah, Ketua Pemerhati Anggaran Publik Provinsi Lampung, Faisol Sanjaya  berpendapat, pengadaan tanpa tender atau e-Purchasing diluar ketentuan, terutama jika ada indikasi persekongkolan atau penyalahgunaan wewenang, dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Hal ini dapat menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

“Tanpa proses pengadaan yang terbuka, apalagi dengan nilai yang mencapai belasan miliar, maka potensi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi lebih besar. Harga obat bisa saja dimark-up, kualitas obat tidak terjamin, atau bahkan obat yang diadakan tidak sesuai dengan kebutuhan RSUD,” imbuhnya.

Pengadaan obat, terus dia, di RSUD tanpa melalui tender atau e-Purchasing merupakan tindakan yang berisiko tinggi dan dapat menimbulkan berbagai masalah. Menurut Faisol Sanjaya, pemerintah daerah dan pihak terkait semestinya harus dapat memastikan bahwa pengadaan obat dilakukan dengan cara yang transparan, akuntabel, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Hal ini penting untuk menjaga akuntabilitas dan mencegah praktik korupsi. Karena, pengadaan tanpa tender atau e-Purchasing juga berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran. Harga yang tidak terkontrol dan potensi mark-up dapat mengakibatkan kerugian keuangan bagi negara. Kemudian yang paling penting, peran stakeholder untuk dapat memastikan ketersediaan obat yang berkualitas untuk pelayanan kesehatan masyarakat,” pungkasnya.

Plt direktur RSUD Bob Bazzar dr Djohardi Johan saat dikonfirmasi mengenai ada tidaknya peraturan PBJ tersendiri oleh RSUD Bob Bazzar, belum dapat memastikannya.

“Izin bang saya tanya dulu dengan teman-teman yang lama,” sebutnya dalam balasan pesan aplikasi perpesanan WhatsApp belum lama ini.

 

 

(*)