KALIANDA – Tercatat ada sejumlah kejanggalan dalam keterangan pasangan suami-istri, Anggun Sefti Wulandari notabene anak kandung dari terdakwa Syahrudin – Tomi Prasetiawan, menantu terdakwa Sahrudin, pada sidang lanjutan pada perkara ijazah kesetaraan palsu anggota DPRD Lampung Selatan, Supriati serta Ahmad Sahrudin selaku Kepala PKBM Bougenville, penerbit ijazah yang digelar di ruang Cakra PN Kalianda, Kamis 17 Juli 2025.
Dimana, pertanyaan dari kuasa hukum Syahrudin, Djainuri SH dijawab dengan lancar oleh pasutri itu. Namun sayangnya, pertanyaan kuasa hukum yang dijawab lancar oleh saksi pasutri itu tidak disertai dengan pertanyaan lanjutan secara detail, apa dan bagaimana pasutri itu bisa mengetahui sebagai dalil untuk meyakinkan hakim.
“Apakah saudara saksi Tomi pernah melihat Merik Havit ke rumah?” tanya Djainuri.
“Pernah” timpal Tomi seraya menjelaskan bahwa dia beserta istrinya masih tinggal serumah dengan orang tua kandung dari istrinya itu.
“Tahu apa yang dibawa oleh Merik? Untuk apa Merik datang?,”lanjut Djainuri.
“Merik Havit untuk menemui bapak (Sahrudin) datang bawa map warna merah berisi berkas dan amplop berisi uang, saya gak tahu isi pembicaraan bapak dengan Merik. Kemudian amplop itu berisi uang Rp1,5 juta,” kata Tomi.
“Datang sendiri dengan bawa mobil Inova hitam BE 88 LAW,” sambung Tomi lugas.
Tomi juga mengatakan, pada saat itu sempat mengobrol dengan Merik, bahwa kedatangan Merik terkait dengan penyerahan berkas ijazah.
“(Merik) sempat ngobrol dengan saya, bahwa dia datang membawa berkas persyaratan ijazah,” jawab Tomi menjawab pernyataan Djainuri.
Namun saat pertanyaan serupa yang disampaikan oleh kuasa hukum Adiyana SH, jawaban Tomi kontradiksi. Saat bincang dengan Merik, terkait ihwal kedatangannya, dijawab Merik singkat, hanya kata ‘Biasa’.
Yang lebih menarik, saat kuasa hukum Djainuri bertanya apakah kenal dengan pengacara Hasanuddin? Apa pernah bertemu dengan Hasanuddin, atau juga pernah ke rumah?
“Saya tidak kenal dengan Hasanuddin pengacara, tidak pernah juga bertemu apalagi ke rumah,” jawabnya.
Namun, saat pertanyaan oleh Adiyana tentang siapa-siapa saja yang hadir pada saat pertemuan di Space Kafe? Dijawab oleh Tomi salah satunya adalah Hasanuddin.
“Merik Havit, ibu Kori, dan Hasanuddin (Pengacara),” jawab Tomi lugas.
Keterangan kontradiksi pun disampaikan oleh Wulan, bahwa Hasanuddin diakuinya pernah datang ke rumahnya.
Meski tidak diperdalam lebih lanjut, justru
pihak JPU yang bertanya lebih terperinci, kapan Merik datang ke rumah? Berapa kali? Berikut juga, bagaimana Tomi bisa tahu apa yang dibawa oleh Merik, padahal apa yang disebut berisi uang (Pas) Rp1,5 juta berada di dalam amplop dan berkas pada map.
“Waktu saudara Merik datang, anda pada saat itu sedang dimana? Kok bisa tahu dan paham kedatangan saudara Merik? Kemudian, pada saat saudara Merik bertemu dengan terdakwa Sahrudin, apakah saudara Tomi ikut berada disitu? Apakah pertemuan mereka itu di ruang tamu atau tempat lain? Kemudian jika anda tidak ikut pertemuan itu, posisi anda dimana, berapa jauh jaraknya dengan pertemuan mereka, sehingganya saudara saksi bisa tahu isi map Merah dan isi amplop,” tanya JPU.
“Saat Merik datang saya sedang di beranda depan (Rumah). Pertemuan bapak (Sahrudin) dengan Merik di ruang sekolah sementara yang ada di samping rumah berjarak sekitar 10 M. Saya mengetahui isi map, amplop dari cerita bapak,” jawab Tomi terbata-bata.
Sebelumnya, pasutri tersebut dihadirkan oleh kuasa hukum terdakwa Sahrudin sebagai saksi a de charge (Saksi meringankan). Namun JPU keberatan dengan kesaksian pasutri tersebut karena keterhubungan darah. Namun begitu, majelis hakim tetap memperbolehkan keduanya memberikan keterangan dengan catatan dalam kapasitas sebagai sebuah petunjuk dan untuk itu keterangan pasutri itu tidak perlu dibawah sumpah.
Sementara, seusai persidangan kuasa hukum dari Supriati, Hasanuddin SH menjelaskan, pasutri tersebut memberikan keterangan bukan dalam kapasitas sebagai saksi, apalagi sebagai dengan status saksi mahkota. Menurut Hasanuddin, sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa, walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroongetuide).
“Namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Maka itu, dalam perkara ijazah palsu ini, saksi mahkotanya hanya Ahmad Syahrudin, ketika menjadi saksi untuk terdakwa Supriati. Begitu juga Supriyati ketika menjadi saksi untuk terdakwa Ahmad Sahrudin,” tutur Hasanuddin.
(*)