Hukum  

Disebut Dalam Perkara Dugaan Ijazah Palsu Caleg Terpilih, Kuasa Hukum Ungkap Kepala PKBM Bugenvil Belum Pernah Diperiksa Polda Lampung

KALIANDA – Sopadly Saleh Yunus SH selaku kuasa hukum Merik Havit sebagai pihak yang disebut dalam artikel berita dugaan ijazah palsu oleh caleg terpilih, berharap semua pihak dapat menghormati proses hukum yang sedang ditangani oleh Polda Lampung.
Menurut Sopadly, terkait masalah tersebut, butuh kebijaksanaan dari semua pihak terutama dari kalangan pers dalam menyikapi perkara tersebut.

“Tentunya kami sangat menghargai kebijaksanaan dari rekan-rekan pers menyikapi perkara yang saat ini masih berjalan. Bisa dipahami bersama, memberikan keterangan yang tidak sebenarnya kepada pers tentunya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda jika memberikan keterangan ‘palsu’ dalam suatu perkara pidana, seperti yang diatur dalam pasal 242 KUHP,” ujar Sopadly dalam siaran persnya, Senin 5 Agustus 2024.

Karena faktanya diungkap oleh Sopadly, jika Ahmad Sahrudin atau inisial SN yang disebut sebagai pemilik sekaligus kepala sekolah dari PKBM Bugenvil dipastikan belum pernah diperiksa 1 kali pun untuk dimintai keterangannya oleh penyidik Polda Lampung.

“Disini saya tegaskan, bahwa  inisial SN atau Ahmad Sahrudin yang disebut sebagai pemilik dan juga kepala PKBM Bugenvil, sama sekali belum pernah diperiksa untuk dimintai keterangannya oleh penyidik Polda Lampung terkait masalah dugaan ijazah palsu caleg terpilih. Sekali lagi saya tegaskan, sama sekali belum pernah,” ungkapnya .

“Memang benar, bahwa SN atau Ahmad Sahrudin sempat 2 kali dijadwalkan dipanggil untuk dimintai keterangannya oleh penyidik Polda Lampung, namun gagal memberikan keterangan karena sakit. Pada panggilan pertama, SN atau Ahmad Sahrudin saat itu sudah tiba di Polda Lampung, namun saat keluar dari kendaraan di areal parkiran mengalami kejang yang diduga serangan stroke. Kemudian pada jadwal panggilan kedua, SN atau Ahmad Sahrudin kembali mangkir dengan alasan keadaannya belum pulih,” tukas pria kelahiran Kalianda ini.

Sopadly tak menampik, jika dalam suatu negara yang beriklim demokratis seperti di Indonesia, kebebasan berpendapat merupakan bagian esensial yang tak mungkin terpisahkan, termasuk kebebasan pers yang merupakan bagian vital dalam mengakomodasi aspirasi dan mendistribusikan informasi.

Keberadaan pers tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi, melainkan pers juga dimanfaatkan publik sebagai sarana atau instrumen untuk mengawasi aktifitas penyelenggaraan negara guna terciptanya keseimbangan (Check and Balances System).

Sopadly juga mafhum, pemberitaan pers atas suatu perkara hukum yang aktual maupun terhadap peristiwa kriminal yang terjadi di lapangan merupakan pekerjaan dan hak bagi pers sebagai mediator untuk menyampaikan informasi kepada publik sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.

“Namun dalam praktiknya tak jarang implementasi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pers itu agak berlebihan, sehingga yang terjadi ialah praktik Trial by The Press. Ini yang kami harap kepada kawan-kawan pers untuk dapat dihindari dalam perkara ini,” ucapnya.

“Trial by The Press bisa diartikan
sebagai pengadilan yang dilakukan oleh pers. Sering kali praktik tersebut terjadi ketika pers dalam mempublikasikan informasinya menggunakan bahasa dan pemilihan diksi yang terkesan menyudutkan salah satu pihak, sehingga merangsang publik pendengar atau pembaca untuk menyimpulkan atau berspekulasi atas salah atau tidaknya seseorang. Padahal perkara hukum tersebut masih berjalan,” imbuh Sopadly.

Sopadly mengaku, yakin dan percaya, jika pers Indonesia khususnya di Lampung bekerja secara profesional yang mengedepankan kode etik jurnalistik. Menurut dia, pihaknya tidak akan ikut berpolemik dengan bantah-membantah terkait keterangan dalam artikel berita oleh sejumlah media daring tersebut.

Merujuk pada penjelasan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sambung Sopadly, dijelaskan bahwa : Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.

“Selain itu, prinsip praduga tak bersalah juga secara eksplisit tercantum dalam Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang menerangkan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi serta menerapkan asas praduga tak bersalah,” pungkas Sopadly.

 

(Rls)