Daerah  

Kisah Pilu Mbah Pur dan Mbah Tum, Penjual Kerupuk asal Pringsewu Timur

Mbah Pur dan Mbah Tum, pasutri penjual kerupuk yang tetap semangat menjani hidup dibalik keterbatasan ekonomi

PRINGSEWU – Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, Puryono (atau yang biasa di panggil Mbah Pur) menapakan kaki meyusuri jalan, demi bisa mengais rizki menjajakan kerupuk.

Sekitar pukul 07.00 WIB, seperti biasa, Mbah Pur akan ditemani sang isteri Tumirah (atau yang biasa di panggil Mbah Tum), berangkat dari rumahnya di Lingkungan V RT 04 menuju Pringkumpul (pengrajin kerupuk), tempatnya mengambil kerupuk.

Selepas itu, Mbah Pur dan Mbah Tum dengan memanggul puluhan pelastik kerupuk akan menyusuri Jalan KH. Dewantara, Jalan Veteran, Jalan KH. Ahmad Dahlan, dan singgah di pinggir Jalan KH. Gholib Raya (tidak jauh dari Gang Tani).

“Macem-macem mas, kerupuk yang saya jual. Ada kerupuk putih dan ada juga kerupuk tempe”, ucap Mbah Pur, ditemui Wartawan Lampungraya.id., dikediamannya, Selasa (19/05/20).

Sebelum Mbah Pur pindah lokasi berjualan kerupuk di Jalan Raya KH. Gholib, ia sempat berjualan kerupuk di pinggiran Jalan Raya Imam Bonjol (Depan Mie Teluk Fajaresuk).

“Disana lokasinya sempit dan kendaraan yang lewat juga padat. Terus akhirnya, saya pindah dan coba jualan di seputaran Kampus STKIP MPL (sekarang UMPRI)”, jelas Mbah Pur yang sama sekali tidak bisa baca dan tulis ini.

Profesi menjadi penjual kerupuk dilakoni Mbah Pur dan Mbah Tum, sejak lima (5) tahun silam. Dimana, keduanya baru akan pulang ke rumah, setelah kerupuk-kerupuk yang dibawanya habis terjual.

“Makanya kadang-kadang, jam 8 malem, saya sama istri baru pulang dari jualan. Untuk satu kantung pelastik berisi kerupuk, saya jual dengan harga 5000 dan saya hanya mendapat keuntungan sebesar 1000”, ungkap Mbah Pur.

Panasnya terik matahari serta hujan, menjadi teman setia Mbah Pur dan Mbah Tum yang tinggal bersama anak pertamanya Yanto dan kedua cucunya.

“Anak saya cuman bekerja ngurusin burung merpati di salah satu rumah warga disini. Sekarang, dia lagi sakit dan di rawat di rumah sakit”, ucap Mbah Tum, dengan bola matanya yang berkaca-kaca.

Dalam sehari, ada sebanyak 50 bungkus kerupuk dalam kemasan pelastik dibawa dan jajakan Mbah Tum.

“Uang dari hasil penjualan kerupuk langsung saya setor ke pengrajin kerupuknya. Besoknya, saya kembali mengambil kerupuk untuk dijual”, terang Mbah Pur.

Dari hasil perkawinannya dengan Tumirah, warga asal Gedung Tataan, Pesawaran, Mbah Pur dikaruniai dua orang anak.

Baik Mbah Pur maupun Mbah Tum, keduanya tidak tau dan paham baca dan tulis, lantaran keduanya memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah dasar.

Anak pertama tinggal bersamanya, sementara anak keduanya tinggal bersama suaminya di Bengkunat. (Ful)