Daerah  

Tinjau Ulang BUMDes Sebagai Suplier E-Warong

KALIANDA – Selain terapan birokrasi yang bertele-tele, gelaran rapat tikor kecamatan untuk penunjukan manajer suplier hanya menambah panjang rentang birokrasi saja.

Ketua Ikatan Keluarga Kemuakhian Lampung Selatan (Ikam Lamsel), Ruli Hadi Putra mengataka, gelaran tikor kecamatan hanya menambah beban pendistribusian bantuan sembako yang harusnya efektif dan efisien sesuai prinsip 6T.

Menurut Ruli, beban itu tambah diperparah dengan penunjukan BUMDes sebagai suplier (Purchase Order), atau pemesanan pembelian untuk e-warong. Ditengarai, penunjukan BUMDes ini hanya akal-akalan saja untuk menyamarkan penunjukan manajer suplier oleh pihak-pihak tertentu

“Ini ada apa dengan penunjukan BUMDes, ini kan menambah rentang tali distribusi bantuan pangan. Sebagai pihak yang melakukan pemesanan pembelian (PO) tentu ada fee yang menetes ke BUMDes. Saya rasa ini hanya akal-akalan saja, tidak efektif dan efisien. Sungguh merugikan pihak e-warong dan KPM. Harus diingat, bantuan sembako ini adalah program bantuan sosial dari pemerintah pusat. Jangan dijadikan sebagai bahan bancakan, bagi-bagi sana dan sini,” tukasnya.

Padahal, terus pria asal Desa Maja ini, sudah menjadi rahasia umum jika 70 persen keberadaan BUMDes di Lampung Selatan tidak aktif. Dari 256 desa yang ada di daerah Serambi Sumatera ini, hanya ada beberapa BUMDes saja yang aktif.

“Dengan ‘dipaksakannya’ BUMDes sebagai pihak pemesanan pembelian komoditi bagi e-warong berpotensi menabrak AD/ART bidang usaha masing-masing BUMDes. Karena bidang usaha BUMDes bermacam-macam sesuai dengan akte pendiriannya. Artinya BUMDes juga harus tertib administrasi, tertib akuntabilitas. Jangan ada sempilan usaha demi kepentingan segelintir oknum,” ungkap Ruli, Rabu 1 April 2020

Dikatakan Ruli, penunjukan BUMDes sebagai pihak pemesanan pembelian komoditi ke pemasok barang merupakan upaya cuci tangan pihak-pihak terkait dalam menyamarkan penunjukan manajer suplier.

“Desa kan rentang tali komandonya jelas, jadi mudah diatur untuk diarahkan siapa pihak manajer suplier untuk kepentingan tertentu. Jika terjadi masalah, atau komplain baik itu masalah kualitas maupun jumlah komoditi, maka pihak desa dalam hal ini BUMDes yang akan dijadikan kambing hitam. Karena yang melakukan pemesanan langsung untuk e-warong adalah pihak desa,” tambah Ruli seraya mengungkapkan bahwa hingga kini pun pihak BUMDes masih kebingungan dengan pola PO seperti yang diterapkan saat ini.

Sementara, Kabid Ekonomi Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD), Sampurno mengungkapkan untuk pengelolaan BUMDes itu secara garis besar memang desa diberikan hak otonom untuk mengelola dana desa, berikut pengelolaan BUMDes. Namun, sambung dia, kemandirian desa dalam pengelolaan dana desa tetap harus mengikuti mekanisme yang telah digariskan.

“Pendirian BUMDes harus lahir atas kehendak seluruh warga desa yang diputuskan melalui Musyawarah Desa (Musdes). Musdes adalah forum tertinggi melahirkan berbagai keputuan utama dalam BUMDes mulai dari nama lembaga, pemilihan pengurus hingga jenis usaha yang bakal dijalankan. Jenis usaha yang akan dijalankan terlebih dahulu ditetapkan dalam anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) BUMDes. Jadi BUMDes harus memiliki rencana usaha yang jelas. Dan yang paling utama dalam setiap usaha yang dijalankan harus ada naskah perjanjian yang memuat kesepakatan kedua belah pihak, serta memuat hak dan kewajiban keduanya,” terang Sampurno.

Terkait urgensi penunjukan BUMDes sebagai suplier atau Purchase Order (Pemesanan Pembelian) komoditi bagi e-warong dalam program bantuan pangan, Sampurno mengaku kurang setuju. Karena menurut dia, dengan penunjukan BUMDes sebagai suplier malah berakibat menambah panjang cost distribusi komoditi ke KPM.

“Yang dikhawatirkan cost-nya terlalu panjang. Manajer suplier mengambil untung, suplier dalam hal ini BUMDes juga mengambil untung. Sehingga sampai ke KPM-nya jadi terlalu tinggi,” imbuh Sampurno.

Selain itu, terus Sampurno, sejak 2017 dari 265 desa yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, sudah terbentuk keseluruhannya sebanyak 265 BUMDes. Namun hanya baru ada 104 BUMDes yang sudah mandiri.

“Baru ada sekitar 104 BUMDes yang sudah mandiri. Kemudian ada 64 BUMDes dalam proses. Maksudnya, yakni BUMDes tersebut sudah menghasilkan namun belum bisa memberikan pendapatan asli desa (PADes). Artinya tidak semua BUMDes sudah bisa berjalan normal, secara faktual masih banyak BUMDes yang abnormal,” ungkap Sampurno.

(row)