Hukum  

Gunakan Material Ilegal Minning, Pelaksana Kegiatan Breakwater Kalianda Terancam Pidana (Jilid II)

KALIANDA – Dari hasil penelusuran di laman LPSE untuk kegiatan Pembangunan Pengaman Pantai Kalianda  (Breakwater) baik tahun 2021 maupun tahun 2022 ini, tertera berada di 2 lokasi di pesisir Pantai Kalianda.

Lokasi pertama pembangunan Breakwater itu di Pantai Rajabasa sebagai pelaksana pemenang tender adalah PT SAC Nusantara, dengan nilai kegiatan RpRp65,3 M (TA 2022).

Kemudian di lokasi kedua yakni Pantai Muli. Menariknya, baik kegiatan tahun anggaran 2021 lalu maupun tahun 2022 ini, sebagai pelaksana pemenang tender adalah PT Mina Fajar Abadi (MFA). Untuk tahun 2022 ini, nilai pekerjaan yang dilaksanakan oleh perusahaan yang beralamat di Kecamatan Nurussalam Kabupaten Aceh Timur itu senilai Rp68,9M.

Berkaca pada pelaksanaan tahun 2021, kedua perusahaan tersebut mengakomodir material berupa batu sebagai bahan utama kegiatan tersebut yang berasal dari pertambangan di tanah milik masyarakat setempat.

Namun sayangnya, meski sepanjang pesisir Kalianda atau tepatnya wilayah dibawah kaki Gunung Rajabasa itu kaya akan potensi hasil tambang berupa Batu, namun sayangnya skala usaha tambang rakyat tersebut tidak mengantungi Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Hal ini konsekwensi dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). Dimana, pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM mengambil penuh kewenangan daerah dalam hal perizinan.

Padahal, di UU tadi ditegaskan baik pelaku usaha penambangan maupun pihak ‘Penadah’ masing-masing terancam pidana penjara maksimal 5 tahun hingga denda mencapai Rp100M.

Selain berpotensi merusak bentang alam dan juga menafikan pendapatan untuk pemerintah pusat, provinsi hingga kabupaten, aktivitas distribusi material tersebut dari lokasi tambang menuju titik pembangunan menimbulkan polusi juga merusak jalan utama. Alhasil, sejumlah warga setempat meradang.

“Sesuai dengan Pasal 161 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa : Setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukanP engolahan dan atau Pemurnian, Pengembangand dan/atau Pemanfaatan, Pengangkutan, Penjualan Mineral dan/atau Batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c dan huruf g, Pasal 104, atau Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.00O.00O,00 (seratus miliar rupiah),” ujar pemerhati sosial, Arjuna Wiwaha, Selasa 24 Mei 2022.

Menurut Arjuna, indikasi pelaksana kegiatan tersebut menggunakan bahan tambang ilegal adalah faktor harga batu sebagai bahan utama dalam pelaksanaan kegiatan itu yang jauh dibawah harga pasaran.

“Indikasinya terkait cost produksi. Dengan menggunakan bahan tambang ilegal tersebut, maka tentunya harga yang didapat oleh pelaksana kegiatan tentu dibawah harga pasaran harga batu di Lampung Selatan,” imbuh Arjuna seraya menambahkan jarak tempuh sebagai salah satu faktor pilihan terhadap hasil ilegal mining tersebut.

[Bersambung]

(tim)