Hukum  

Soal Kades Karyatunggal Tersangka Tipikor DD, Berikut Fakta dan Datanya (Bagian I)

KALIANDA – Adalah Tubagus Dana Natadipraja (TDN), Kepala Desa Karyatunggal Kecamatan Katibung ditersangkakan oleh penyidik Kejaksaan Negeri Lampung Selatan pada Senin 23 Mei lalu di Kalianda.

Dalam penetapan tersangka tersebut, TDN dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dana desa kurun waktu 2016-2019 yang berakibat merugikan negara sebesar Rp842.464.363.18.

Namun demikian, nilai kerugian negara yang  menjadi landasan utama dalam penetapan sebagai tersangka terhadap TDN itu ternyata merupakan atas perhitungan sendiri oleh tim penyidik dari korps Adhyaksa tersebut. Bukan dari lembaga yang berkompeten seperti BPK atau BPKP.

Penafsiran nilai  kerugian negara tersebut, oleh aparat penegak hukum (APH) besutan dari ST Burhanuddin itu hanya diperkuat dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) reguler oleh aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) dalam hal ini adalah Inspektorat setempat.

Merasa dikriminalisasi, TDN pun melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Merik Havit  (MHP) menggugat praperadilan Kejaksaan Negeri Lampung Selatan atas penetapan tersangka oleh  pengacara negara ini ke Pengadilan Negeri Kalianda, Kamis 2 Juni silam.

“Dengan demikian jelas tindakan termohon (Penetapan Tersangka) tanpa rekomendasi dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) audit dari lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri pemohon oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo,” sebut koordinator tim kuasa hukum pemohon, Merik Havit SH MH membacakan salah satu poin gugatannya di sidang praperadilan, Kamis 9 Juni 2022 pekan lalu.

Terkait dengan hal itu, saat ditelusuri soal penegasan instansi yang berwenang, ternyata Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Dalam poin ke-6 disebutkan :

“Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, inspektorat, Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.”

Ini artinya, SEMA nomor 4/2016 menegaskan bahwa lembaga yang berhak menghitung dan menyatakan adanya kerugian negara adalah BKP. Sementara lembaga lain seperti BPKP hanya berwenang melakukan penghitungan kerugian negara, tapi tidak berhak menyatakan adanya kerugian negara.

Alhasil, sidang gugatan praperadilan tersebut pun makin menarik diikuti. Setelah pada Jumat 10 Juni lalu, giliran tim Kejari Lamsel yang terdiri dari Kasi Pidsus Hery Susanto SH, Kasi Intel Samiadji Noer SH, dan 7 jaksa fungsional yakni, Rinaldy Adriyansah SH, Agsyana SH, Rahmat Djati Waluya SH, AB. Bayu SH, Yona Prilia Karlinasari SH, Rindu Yusticia SH dan Afrhezan Irvansyah SH memberikan jawaban atas gugatan pemohon.

“Tidak hanya BPK, berdasarkan aturan yang berlaku diantaranya BPKP, Inspektorat, Akuntan Pubik, bahkan penyidik dan penuntut umum dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat korupsi. Serta hakim pun juga dapat menghitung kerugian negara. Jadi apa yang disampaikan pemohon tidak mendasar dan hanya mencari sensasi belaka, untuk mengaburkan pokok materi perkara tersebut,” ucap Hery Susanto menyindir.

Sidang gugatan praperadilan pun berlanjut dengan agenda pembuktian pada Senin-Selasa (13-14/6), lalu pada Rabu (15/6) dengan agenda putusan dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim  Tunggal Ryzza Dharma SH itu.

Untuk diketahui, program dana desa (DD) merupakan program unggulan presiden RI Jokowi. Tahun 2015 merupakan tahun pertama kalinya Indonesia mengucurkan Dana Desa sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana ini diharapkan agar dimanfaatkan oleh pemerintah desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Skenario awal Dana Desa ini diberikan dengan mengganti program pemerintah yang dulunya disebut PNPM.

Karena dinilai alokasi dana desa cukup besar hingga bisa mencapai Rp 1 miliar per desa, sehingga diperlukan lah pengawasan dan sistem pengawasan. Alhasil disepakati, pengawasan dana desa mengutamakan asas pencegahan. Hal ini merujuk pada penemuan adanya penyimpangan dana desa yang terjadi akibat minimnya pemahaman kepala desa tentang sistem administrasi keuangan Negara.

Kemudian dari beberapa penyaluran dana desa, ditemukan adanya potensi terjadinya penyimpangan. Yang pertama itu kesalahan karena kelemahan administrasi keuangan. Hampir 60 persen kepala desa tidak berpendidikan tinggi. Kepala desa dinilai belum paham bagaimana mengadministrasikan keuangan ini.

Dengan begitu, penyalahgunaan dana desa dibagi dua faktor, yakni berdasarkan faktor ketidaksengajaan dan kesengajaan. Faktor ketidaksengajaan seperti terjadinya kesalahan pada proses perencanaan, kesalahan dalam penyusunan laporan, dan kesalahan dalam penyusunan spesifikasi pekerjaan.

Sedangkan faktor unsur kesengajaan seperti membuat rancangan anggaran di atas harga pasar, mempertanggungjawabkan pembiayaan proyek sumber dana lain kepada anggaran dana desa, membuat proyek fiktif, dan sebagainya.

“Yang ada unsur kesengajaan ini masuk ke dalam tindak pidana korupsi. Tapi kita ingin adanya pencegahan. Bagaimana caranya agar kepala desa tidak terkena pidana. Tapi kalau sudah dibina masih ada unsur kesengajaan ya sudah bagaimana,” ujar Kepala Biro Hukum dan Tatalaksana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Undang Mugopal seperti yang dilansir oleh jdih.kemendesa.go.id

Dalam rangka pencegahan tersebut ia mengatakan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bekerjasama dengan kejaksaan agung dan Polri untuk turut mengawasi dan mendampingi proses penyaluran hingga pelaksanaan penggunaan dana desa.

Dalam perjalanannya, pada 2018 silam ditandatangani perjanjian kerjasama 3 pihak, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Republik Indonesia dan Polri tentang Koordinasi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) Dengan Aparat Penegak Hukum (APH) Dalam Penanganan Laporan Aduan Masyarakat Yang Berindikasi Tipikor Pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Perjanjian kerjasama tersebut tertuan dengan SPK nomor : 119-49 tahun 2018. Nomor : B-369/F/Fjp/02/2018. Nomor : B/9/II/2018.

Namun demikian, didalam SPK tersebut di dalam paragraf 3 tentang Pemeriksaan Investigatif  atau Penyelidikan pada pasal 7 ayat (5)  Kesalahan administrasi yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) mempunyai kriteria sebagai berikut:

a. tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah,

b. terdapat kerugian keuangan negara/daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK:

C. merupakan bagian dari diskresi, sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat digunakannya diskresi: atau

d. merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sepanjang sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik.

(6) Koordinasi tidak berlaku dalam hal tertangkap tangan.

Dengan demikian, penyelesaian kasus dana desa mengedepankan pengembalian kerugian negara dibandingkan dengan melakukan proses hukum yang berimbas tingginya biaya perkara.

Bahkan, dalam telegram Kapolri nomor ST/3388/XII/HUM.3.4./2019 yang diterbitkan 31 Desember 2019, Kapolda dan Kapolres diperintah mendahulukan proses pencegahan tindak pidana korupsi terkait dana desa. Caranya ialah melakukan koordinasi dengan inspektorat atau aparat pengawas internal pemerintah (APIP) serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bila ada temuan dugaan tindak pidana korupsi, termasuk dana desa.

Kemudian, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin seperti dikutip oleh TEMPO.CO mengimbau seluruh jajarannya untuk tidak langsung menghukum kepala desa secara pidana ketika tersangkut korupsi pengelolaan alokasi dana desa. “Mens rea-nya tolong diperhatikan. Kenapa? Karena saya orang desa, tahu persis kepala desa dipilih secara langsung dan itu pesta demokrasi pertama (bagi mereka),” kata dia di Gedung Nusantara IV, Komplek DPR RI, Jakarta, pada Senin, 24 Februari 2020.

Burhanuddin mengatakan, tak banyak kepala desa yang sebetulnya paham mengurus administrasi. “Mereka yang duduk sebagai kepala desa, jauh dari (tradisi mengurus) administrasi.” Di situ, kata dia, peran pemerintah daerah memberikan pembekalan kepada mereka yang terpilih menjadi kepala desa.

Jaksa Agung meminta jajarannya untuk betul-betul menyeleksi perbuatan yang dilakukan oleh kepala desa, sehingga tidak sembarang menetapkan sebagai tersangka. “Beri bimbingan kepada mereka, jangan langsung harus dijatuhi hukuman, atau diberi penegakan hukum. Mari benahi mereka.” tukasnya.

Sementara, seperti dilansir oleh kontan.co.id Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, mengatakan bahwa kepala desa (Kades) dapat mengembalikan uang yang dikorupsi tanpa harus diadili di persidangan atau diproses secara hukum.

Menurutnya, saat ini dari jajaran Kejaksaan Agung dan Kepolisian sudah restorative justice, sehingga apabila ada Kades yang terbukti mengambil uang desa dan nilainya tidak seberapa, kalau diproses di pengadilan biayanya lebih besar.

“Artinya apa? Nggak efektif, nggak efisien, negara lebih banyak keluar duitnya dibandingkan apa yang nanti kita peroleh, ya sudah suruh kembalikan, ya kalau ada ketentuannya pecat kepala desanya, selesai persoalan kan, begitu,” kata Alex seperti yang dikutip oleh kontan.co.id dalam Peluncuran Desa Antikorupsi di Kampung Mataraman Panggungharko, Yogyakarta, Rabu (1/12).

Sempat menolak, Inspektur Kabupaten Lampung Selatan, Anton Carmana tanggapi pertanyaan LR. Menurut dia, masalah hukum yang membelit Kepala Desa Karyatunggal, Tubagus Dana Natapraja merupakan ranah APH, dalam hal ini adalah Kejaksaan Negeri Lamsel.

Kendati demikian, Anton tak menampik jika di dalam LHP Desa Karyatunggal tersebut ada ditemukan adanya kelebihan pembayaran. Namun demikian dia menyangkal besarannya hingga mencapai Rp800juta. “Gak sampe lah kalo segitu (800 juta),” ucap Anton seraya menambahkan apa yang telah menjadi temuan jajarannya telah dikembalikan ke rekening desa dalam balasan pesan aplikasi WhatsApp, Minggu 12 Juni 2022.

Sementara, pemerhati sosial Arjuna Wiwaha menilai apa yang dilakukan oleh Kejari Lamsel dengan menjadikannya Kades Karyatunggal, Tubagus Dana Natapraja (Nonaktif) sebagai tersangka Tipikor dalam pengelolaan DD, tingkat kepercayaan pemerintahan desa kepada Pemerintahan Kabupaten Lampung Selatan menjadi turun.

Dimana, dalam rangka pembinaan dan sosialisasi tata kelola dana desa, pemkab dalam hal ini Inspektorat dan Dinas PMD memberikan pemahaman akan pentingnya pengembalian “kerugian negara” dengan segala kemungkinan dan konsekuensi  hukum hingga berpotensi menjadi korban tindak pemerasan.

“Kepercayaan itu bukan barang jadi dalam sekejap. Tapi dengan melalui proses. Tidak sedikit oknum kades menolak melakukan pengembalian dengan segala pertimbangannya. Bahkan juga ditemukan ada pengembalian oleh kepala desa dengan cara dicicil, dengan label kooperatif. Karena apa, karena pemerintah berupaya agar penanganan masalah hukum dana desa ini mengedepankan pengembalian uang negara,” kata Arjuna, Minggu.

[BERSAMBUNG]

(row)